Gedung asrama rabwah |
Ilustrasi tawuran remaja antar desa |
4 tahun
lalu, terjadi kerusuhan massal di seluruh negeri. Hampir setiap hari
terjadi tawuran antar desa yang
setiap remaja akan dianggap pengecut jika tidak bergabung. Pada satu kesempatan, aku dipaksa oleh
teman-teman sebayaku untuk
mengikuti tawuran itu.
Tanpa pikir panjang, aku melesat dengan tongkat panjang dengan paku di ujungnya yang biasa aku
gunakan. Namun
kali ini berbeda, persis saat akan meninggalkan rumah, tangan
kiriku digenggam erat oleh bapak.
Bapak
menahanku “Apa yang akan kamu
lakukan?”
“Menahan
musuh di perbatasan pak.” sautku
“Musuh
apa? Musuhmu adalah kebodohan! Tolong
nak, mengertilah!” kata bapak. Bukan pertama kali bapak
mengulang kalimat tersebut. Musuhmu adalah kebodohan.
“Demi
kedaulatan desa pak.” bantahku
Bapak sama
sekali tidak mengendurkan genggamannya. Ia merogoh saku bajunya dan
mengeluarkan sebuah pena.
“Berjuanglah
dengan ini, nak. Ini!” Lanjut bapak sambil menatap
mataku tajam “Ubahlah dunia
dengan ini, ubahlah nasib keluargamu dengan ini, ubahlah takdirmu dengan ini!”
Tatapan mata
itu. Takkan pernah dapat
kulupakan. Tatapan itu seolah berbicara kepada jiwaku. Tiba-tiba bapak memelukku dengan sangat erat. Tak
kusangka itu adalah pelukan yang paling hangat, paling lama, dan paling nikmat yang pernah kurasakan
sepanjang hidup. Pelukan
terakhir bapak.
Aku memberontak dan berlari keluar
rumah siap menerjang remaja desa sebelah, namun kali ini ada yang berbeda.
―――
Madinah,
masa sekarang
“Syafaat
menurut asal pemberi ada 3, dari Rasulullah, dari para malaikat, dan dari orang
orang salih. Syafaat akan datang menyelamatkan kita di akhirat saat kita akan
dijebloskan kedalam kerak neraka yang membara. Rasulullah akan memberi syafaat
kepada muslim yang suka bershalawat, cinta nabi, amar ma’ruf, nahi munkar.”
Di semester
terakhirku ini, ceramah tersebut selalu terngiang. Aku lebih sering merenung daripada menggarap
tugas akhir. Tidur tak
tenang, makan tak teratur.
Entah kenapa disaat seperti ini kenangan-kenangan masa laluku selalu
menghampiriku. Aku mulai mempertanyakan hal-hal yang seolah
menjadi pertanyaan abadi hidupku.
Untuk apa
hidup? Untuk apa mengubah
nasib keluarga? Bisakah kita mengubah takdir? Haruskah amar ma’ruf? Mengapa harus nahi munkar? Apa arti pena ini? Mengapa ada Nabi? Shalawat? Surga? Neraka? Keputusasaan-ku semakin memuncak.
Sebagai Mahasiswa, aku tidak boleh mudah menyerah atas segala kebimbangan ini.
Jumat pagi ba’da subuh di
Masjid Nabawi dengan perut yang belum diisi sejak kemarin pagi, aku memutuskan untuk bermunajat kepada
Allah agar senantiasa tetap dalam lindungan-Nya dan diberi solusi atas segala
permasalahan hati ini. Aku masih berada pada juz 3 hafalanku.
Aku terus
tenggelam dalam hafalanku hingga tak terasa adzan sholat jum’at berkumandang.
Dua
sahabatku, Salman dan Faris menyapa selepas sholat “Assalamu’alaikum bos”
“Wa’alaikumussalam” jawabku
“Astaghfirullah!
Kamu sudah sarapan? Wajah kamu pucet banget bro” Salman terkejut melihat wajahku yang pucat pasi. Tepat adzan dzuhur
tadi sudah 35 juz seingatku, artinya 1 khatam plus 5 juz awal. Target malam ini adalah tiga kali khatam.
Aku diam
menunduk
“Kenapa bro? ada masalah? bilang aja”. Faris memberi perhatian.
“Akhir-akhir ini, aku sering bingung. Kenangan lama
itu muncul terus”. Aku mulai membuka mulut dengan
tertatih.
“Kenangan? kenangan
apa bro?” tanya salman. Salman
adalah salah satu sahabatku dari turki. Dia masih belum paham benar masa
laluku. Sedangkan Faris adalah sahabat karibku dari solo, dia tahu seluk beluk
diriku, masa laluku, dia sahabatku sejak masih tsanawiyah (setingkat SMP).
“Aku harus berjuang dengan in...” Aku tergeletak di lantai masjid
menggenggam erat pena pemberian bapak.
“Allahuakbar!” Faris teriak histeris
―――
-Klinik
asrama UIM-
Tubuhku
terkulai lemah di ranjang. Terasa sangat dingin disini. Kulihat hanya ada Faris
di sampingku. Aku menepuk pundaknya yang bersandar di ranjang sebelah kanan.
“Eh gimana? baikan? Alhamdulillah. Kamu udah
gak pucet lagi. Mau minum? Makan? kata dokter, kamu bisa kembali ke asrama abis
ini. Eh tangan kamu dingin.
Panggil dokter ya?” tanya Faris bertubi
tubi. Dia sering gugup dalam keadaan apapun. Apalagi dalam keadaan seperti ini.
“Gak usah
gak usah. Thanks.
Eh. Mana? Pena aku?”
“Ooh, ini!
kalo kamu ada masalah bilang ke aku. Jangan disimpen sendiri. Kenapa kemaren
kamu kekeh banget pengen khatam qur'an tiga kali sehari?” Tanya faris.
“Aku
lagi galau ni bro, overthinking banget masalah akhirat. Gimana nanti kalo di akhirat, aku sulit dapetin syafa'at. Amalan
aku masih sedikit. Dosa aku banyak”. kataku
“Yang kaya gitu gausah dipikirin broo. Lakukan
apa yang diperintahkan tinggalkan apa yang dilarang. Amar ma’ruf nahi munkar. Udah gitu aja gaperlu mikirin kedepannya gimana”. Nasehat Faris panjang lebar
“Syukran Bro”
―――
Kerusuhan hebat telah sampai di pusat desa. Massa terus
bergerak mendekati rumahku. Hanya berjarak tiga rumah dariku. Tinggal tiga
rumah lagi, rumah peninggalan keluarga akan habis.
Dalam keadaan genting seperti itu bapak masih bisa
berpikir jernih. Ia memerintah kami sekeluarga untuk segera mengambil barang berharga untuk jaga-jaga dan kabur ke seberang sungai.
Sementara itu, kulihat
bapak malah berlari mengambil jerigen bensin dan
meninggalkan rumah. Menjauhi kami mendekati massa.
Aku ingat teriakan itu “Larilah nak! Berjuang lah!
bahkan ketika kau tidak lagi memiliki harapan untuk hidup!”
―――
Aku terbangun dari tidur. Meludah ke kanan tiga kali.
Bangun dan sholat. Berbisik
ke dalam hati. “Iya bapak. Aku akan selalu berjuang. Dengan apa yang kutulis
dengan penaku. Dengan Al-Quran dan sunnah pedomanku. Dengan Rasulullah di hatiku. Tak akan kulepaskan
segala sesuatu yang telah aku capai dengan susah payah di Madinah ini. Kini aku
mengerti apa itu hidup. Untuk apa hidup. Tidak diciptakan aku melainkan hanya
untuk beribadah kepada Allah. Aku sudah tidak lagi memiiki harapan untuk hidup
jika bukan karena perjuangan dan pengorbanan bapak.”
“Kini
kumengerti apa arti dari mengubah nasib keluarga kita, dengan pena. Aku akan
terus dan selalu belajar dimanapun kapanpun. Kutagih janji Allah yang akan menaikkan derajat orang-orang berilmu. Allah pun akan memudahkan
jalan menuju surga bagi orang yang berjalan untuk mencari ilmu. Ilmu adalah
yang terpenting. Jika bukan karena ilmu, manusia akan bertingkah seperti
binatang.” Tanpa kusadari, Faris
telah berada disampingku.
Dan berkata “ceritain tentang keluargamu lagi dong”
“Ogah ah,
ngantuk” aku melengos.
“Bro,
Pliss”
Faris memeluk erat kakiku
Aku tidak dapat menolak. “Capedee”
kesalku dalam hati.
―――
Bapak masih belum datang kemari setelah hampir 24 jam
kami menunggu di seberang sungai bersama puluhan warga desa. Ada kabar bahwa
desa kami sudah aman, banyak aparat kepolisian yang berjaga di desa. Warga desa
tetap belum mau masuk ke dalam desa. Hanya beberapa orang dewasa yang sangat
berkepentingan yang akan masuk ke desa. Aku ingin mengikuti mereka menuju desa,
namun ibu melarangku. Aku
ingat betul raut
muka ibu menunggu kepastian nasib bapak.
“Aku ingin ketemu bapak!”
“Tidak! Jangan, Alif!.”
Aku tidak
berdaya. Ibuku menggenggam erat lengan kiriku. Aku tetap pergi, mengendap
endap.
Kondisi
desa kami sangat memprihatinkan, tersisa sedikit rumah yang utuh. Paling baik
adalah kaca jendela pecah dengan pintu rusak. Beberapa mayat terlihat di
evakuasi oleh ambulan dan petugas gabungan. Aku terus berjalan menuju rumahku.
Kehancuran
dimana-mana, ada bekas
kebakaran hebat disini, tiga rumah samping rumahku. Bapak asih belum
terlihat. Rupanya dua rumah
sebelahku tidak hancur, kotor pun tidak, sama dengan rumahku. Aku terkejut.
Aku
langsung berlari memasuki rumah. Dapur, kamarku, kamar orang tua, tempat solat,
ruangan apapun dirumah, tidak ada bapak. Hanya perabot. Aku tak butuh perabot,
aku butuh bapak, hanya bapak.
“Alif!
Alif”
beberapa orang meneriakkan
namaku. Aku keluar rumah dan menemui mereka.
“Ada Apa?”
“Bapakmu.
Di rumah itu.” Mereka menunjuk rumah
yang telah terbakar hebat. Aku
berlari menuju rumah itu.
Tubuh ku
terkulai lemas seketika, saat kulihat jasad bapak yang hitam legam dengan baju
yang menyatu dengan kulitnya, ditandu warga menuju ambulan. Aku tak tahu dimana
diriku sekarang, tak kuat menopang berat tubuh. Aku kehilangan harapan. Dunia
seolah kehilangan warnanya.
Sedetik kemudian aku terbangun. Terlihat Ibu dan seluruh keluarga
menangisi bapak yang pergi meninggalkan aku, anak pertama yang harus
menanggung Ibu dan ketiga adik perempuan. Dibalut kain kafan dekat dengan tempatku berbaring. Aku memeluk erat Ibu, saudara-saudaraku mengikutiku. Menangisi bapak. Beberapa warga berusaha
menenangkan kami.
Tak ada
lagi harapan untukku, dunia sudah tidak secerah kemarin. Mati mungkin lebih baik bagiku.
Bertanya kepada semesta mengapa tega sekali mengambil seorang Ayah dari
keluarganya. Suara burung gagak di kejauhan seolah menyetujui arah pikiranku.
Tak ada lagi alasan untuk hidup.
Aku menuju
jembatan lama. Lama sekali aku termenung dalam lamunan. Bersiap
untuk melompat dari jembatan dan
mengakhiri hidup ini. Sepersekian
detik sebelum aku melompat, ibu mendekap erat badan kurusku dari belakang.
Tidak makan beberapa hari ini sangat menguras badanku. Arus sungai sangat deras saat itu, tidak
mungkin aku hidup jika tidak ada ibu yang menyelamatkanku.
Aku membuka
mata dan melihat seseorang. Bapak. ah. Tidak. Ibu.
“Ibu.”
Suaraku lembut.
“Alif!
Alif!” Ibu meneriakiku.
“Ibu,
kenapa Ibu menyelamatkanku? Aku sudah tidak ada harapan lagi. Diriku hancur,
remuk, yatim. Tidak ada
lagi yang dapat Ibu harapkan lagi dari diriku. Aku selesai.” Kataku sambil
mengucurkan air mata.
“Tidak nak.
Tegakah kau membuat Ibu menjadi janda sekaligus kehilangan anaknya dalam waktu
berdekatan?” Ibu pun menangis tersedu.
“Ingatlah
nak, bahwa Rasulullah juga
sangat bersedih ketika ditinggalkan istri dan pamannya dalam waktu singkat. Jika
manusia kuat seperti Rasul merasa sangat sedih ditinggal mati keluarganya,
apalagi ibu? Pikirkan itu baik baik nak!” tambahnya.
Aku
menangis di pelukan Ibu. Sangat tidak pantas memang, bagi seorang mukallaf 18 tahun menangis
berlarut-larut. Aku
terus mendekap Ibu rapat-rapat. Saat itu kusadari beliaulah prioritas utama
dari hidupku. Aku dedikasikan seluruh hidupku untuk beliau.
Tepat dua hari semenjak kejadian tersebut, Ibu memerintahku untuk segera menemui Mas Ridho. Ibu tidak ingin menyembunyikan
fakta dari anak pertamanya.
Aku langsung menemui Mas Ridho dan bercerita panjang lebar. Mas Ridho adalah sahabat karib bapak ketika
berkuliah di Mesir, aku tahu hal ini ketika bapak bercerita betapa lezatnya
masakan kantin disana.
“Saya tidak
ingin membicarakan hal ini sekarang, hanya ingin pada waktu yang tepat. Tapi, jika ini
adalah waktu yang tepat bagi ibumu, tak ada jalan lain.” Mas ridho membuka. “Bapakmu adalah orang
yang pemberani, tak kenal lelah, tanpa ragu, dan seorang alim.” Lanjutnya.
“Hah, alim? Apa maksudnya?” Selama ini aku tahu kalau bapak rajin
datang ke Masjid, tilawah sehari satu juz, tahajud hampir tiap malam. Tapi itu biasa saja dan tidak bisa
disebut alim.
“Bapakmu
selalu buruk dalam pelajaran, tapi dia selalu bersemangat dalam mendalami
Al-Quran dan menghafalkan Al-Quran. Dia hafal Qur’an pada usia 15 tahun. Hafal diluar kepala ribuan hadist beserta
sanadnya dan mafhum tafsir. Lulusan terbaik Universitas al-Azhar kairo, Mesir. Dan
yang terakhir, dia
berkeinginan kuat untuk memiliki anak yang dapat mengikuti jejaknya.” Jelas Mas Ridho. Mungkin ia
hanya melebih-lebihkan saja, batinku.
“Ngasih
tau info itu ngapain pake segala nunggu waktu yang tepat mas?”
“Bukan itu
intinya. Bapakmu mati menyelamatkanmu, keluargamu, bahkan keluarga tetanggamu.
Aku melihatnya sendiri dengan mata kepalaku!” kata Mas Ridho berapi api. “Saat kerusuhan hari itu,
kulihat bapakmu berlari berlawanan arah dengan warga yang kabur. Bapakmu berlari membawa jerigen dan
menggenggam korek api. Menuju massa yang mengamuk, membakar rumah tetangga.
Entah apa yang dia lakukan.
Namun, entah itu bagian dari rencana atau bukan, bapakmu ikut dilempar massa
ke dalam rumah terbakar itu. Nah, setelah pembakaran itu, massa bingung, mereka
sedikit demi sedikit bubar dan reda hingga polisi datang."
Terang Mas Ridho.
“Kupikir bapakmu-lah pahlawan separuh desa ini. Bapakmu mati menyelamatkan desa dan
warga desa, demi dirimu yang diharapkan akan menjadi dirinya yang selanjutnya.
Saya menyesal, saat mendengar kau ingin bunuh diri, itu bukanlah hal yang bapak
harapkan darimu” lanjut Mas Ridho.
“Bapak
adalah pahlawan” Gumamku.
“Bapak akan selalu berjuang walau tak ada harapan untuk hidup. Dan aku akan
menjadi bapak, aku harus berjuang walau tak ada lagi harapan untuk hidup. Sama
seperti Nabi Muhammad yang tak kenal lelah menyebarkan dakwah walau halangan
dan rintangan menghadang dari sudut manapun”
―――
Kini, setelah bertahun tahun kejadian itu berlalu, aku masih akan selalu mengingatnya. Cerita yang diucapkan Mas Ridho benar adanya dan terus membuatku berjuang tak kenal lelah meski hanya bermodal sebuah pena. Yang akhirnya dapat mengantarkanku ke Madinah Al-Munawwaroh, kota yang bercahaya, kota yang diberi nama langsung oleh Nabi Muhammad.
Jepara, Januari 2019Penulis : Din Djarrin
Mahasiswa Prodi Manajemen
0 Comments